Selasa, 25 Januari 2011

Review Masalah Gizi di Hari Gizi Nasional (HGN) ke 59


Masalah Gizi Utama di Indonesia

Sejak awal kemerdekaan hingga saat ini, pembangunan program gizi di Indonesia selama beberapa dekade telah menunjukkan hasil yang positip, namun demikian masih tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga khususnya di kawasan Asia Tenggara. Hal ini terlihat dari masih tingginya prevalensi BBLR, gangguan pertumbuhan (stunting dan wasting), Anemia Gizi Besi (AGB), Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) dan Kurang Vitamin A (KVA).

Hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2010 menyebutkan angka balita kurang gizi ada di kisaran 17,9 persen, nilainya turun dibanding dengan 2007 yang ada di kisaran 18,4 persen. Sementara itu, 36,8 persen anak balita Indonesia memiliki tinggi badan di bawah standar (stunting).

Kurang lebih 50% atau 1 diantara 2 ibu hamil di Indonesia menderita anemia yang sebagian besar karena kekurangan zat besi. Di beberapa daerah tertentu seperti NTT dan Papua, prevalensi anemia ibu hamil justru mencapai lebih dan 80%.

Lebih dan 50% anak balita mengalami defisiensi vitamin A subklinis yang ditandai dengan serum retinol <20 mcg/dL (Hadi et. al., 2000), dan satu diantara dua (48.1%) dari mereka menderita anemia kurang zat besi (SKRT, 2001). 


GAKY masih dianggap masalah kesehatan masyarakat, karena secara umum prevalensi masih di atas 5 persen dan bervariasi antar wilayah, dimana masih dijumpai kecamatan dengan prevalensi GAKY di atas 30 persen.  Diperkirakan sekitar 18,16 juta penduduk hidup di wilayah endemik sedang dan berat; dan 39,24 juta penduduk hidup di wilayah endemis ringan.


Disamping masalah utama di atas, dan masalah gizi yang masih terjadi adalah Bayi dengan BBLR, Kematian Ibu Melahirkan, Kematian Neonatus, Kurang Gizi pada Anak Sekolah, saat ini kita juga harus menghadapi masalah gizi lebih dan obesitas sebagai masalah baru.

Survei nasional yang dilakukan pada tahun 1996/1997 di ibukota seluruh propinsi Indonesia menunjukkan bahwa 8,1% penduduk laki-laki dewasa (>=18 tahun) mengalami overweight (BMI 25-27) dan 6,8% mengalami obesitas, 10,5%penduduk wanita dewasa mengalami overweight dan 13,5% mengalami obesitas. Pada kelompok umur 40-49 tahun overweight maupun obesitas mencapai puncaknya yaitu masing-masing 24,4% dan 23% pada laki-laki dan 30,4% dan 43% pada wanita (Depkes, 2003).

Penyebab Utama Masalah Gizi
Terdapat dua faktor yang terkait langsung dengan masalah gizi khususnya gizi buruk atau kurang, yaitu intake zat gizi yang bersumber dari makanan dan infeksi penyakit (lihat Gambar 3). Kedua faktor yang saling mempengaruhi tersebut terkait dengan berbagai faktor penyebab tidak langsung yaitu ketahanan dan keamanan pangan, perilaku gizi, kesehatan badan dan sanitasi lingkungan.

Faktor-faktor diet dan pola aktivitas fisik dapat dikatakan sebagai faktor-faktor utama yang memicu pertambahan berat badan itu bekerja. Lebih jelasnya, diet tinggi lemak dan tinggi kalori dan pola hidup kurang gerak (sedentary lifestyles) adalah dua karakteristik yang sangat berkaitan dengan peningkatan prevalensi obesitas di seluruh dunia (WHO, 2000).

Jadi, baik masalah gizi kurang ataupun gizi lebih, disamping disebabkan faktor konsumsi dan ketersediaan pangan, juga dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, perilaku gizi dan pola hidup.
 
Upaya Intervensi
Adalah suatu ironi bahwa kenyataan di lapangan pada saat ini, perhatian terhadap upaya-upaya kesehatan promotif dan preventif sangat kecil dibandingkan perhatian yang diberikan pada upaya-upaya kuratif-rehabilitatif. Relatif kecilnya perhatian pemerintah terhadap upaya-upaya kesehatan promotif-preventif dapat dilihat dan relatif kecilnya anggaran yang dialokasikan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa anggaran yang dialokasikan untuk upaya-upaya promotif - preventif tidak mencapai 10% dari total anggaran kesehatan. Sebaliknya, anggaran biaya yang dialokasikan untuk upaya-upaya kesehatan kuratif mencapal 60 hingga 85% dan total anggaran bidang kesehatan.

Perhatian utama dan sebagian besar pemerintah daerah lebih ditujukan pada upaya pembangunan infrastruktur, sarana-prasarana dan pengembangan wilayah (INPRASWIL).Pembangunan yang yang bersifat non-fisik dan tidak dapat dilihat hasilnya dalam waktu dekat seperti pembangunan kesehatan umumnya kurang mendapat perhatian.

Tidak jarang pemerintah daerah dan DPRD, di daerah miskin sekalipun lebih mengutamakan pendirian rumah sakit baru dengan peralatan canggih dan mahal dari pada memperbanyak, memperbaiki, melengkapi peralatan dan meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia Puskesmas yang sudah ada.

Di tingkat pusat, selama empat tahun (2000-2003) pasca krisis ekonomi, 60%-75% dari anggaran program gizi dialokasikan untuk pengadaan makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang jumlahnya berkisar antara Rp.100 milyar sampai Rp.120 milyar setiap tahunnya. (Depkes, 2004). Dalam kenyataannya sampai saat ini, kebijakan tersebut belum efektif karena pelaksanaan pemberian MP-ASI secara gratis tidak tepat sasaran, ditolak (tidak disukai) oleh masyarakat, dan akhirnya tidak sedikit yang menumpuk di gudang dan tempat penyimpanan lainnya.

Tidak efektifnya kebijakan pemerintah yang mulia ini tampaknya berkaitan dengan adanya MP-ASI yang belum sesuai dengan lidah dan budaya kebanyakan bayi sasaran program, masih kurangnya sosialisasi program kepada masyarakat, dan lemahnya monitoring serta evaluasi program tersebut. 

Dalam kondisi negara masih serba sulit seperti sekarang ini, termasuk keterbatasan anggaran, alokasi anggaran untuk program pembangunan termasuk untuk program kesehatan dan gizi, khususnya proyek bantuan pangan seperti bantuan MP-ASI harus didasarkan atas perencanaan yang matang dengan perhitungan efektivitas pembiayaan (cost-effectiveness) sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan, dan didukung dengan kemampuan manajemen program yang memadai. 

Penutup
Masalah gizi dan kesehatan dimasa datang akan semakin komplek dan itu semua akan menjadi tantangan utama pembangunan bidang kesehatan. Kompleksitas masalah gizi dan kesehatan tersebut menuntut perhatian semua pihak khususnya Departemen Kesehatan RIdalam mengantisipasi masalah kesehatan dimasa yang akan datang serta dalam mengambil keputusan kebijakan pembangunan kesehatan. Namun demikian, peran wakil rakyat, pemerintah daerah, masyarakat, perguruan tinggi, dan stakeholder lain juga sangat menentukan keberhasilan dalam menangani masalah gizi dan pembangunan kesehatan di Indonesia.

Masalah pengetahuan dan perilaku adalah masalah yang tidak begitu mudah untuk dirubah. Namun perubahan yang besar harus dimulai dari perubahan yang kecil. Mari kita mulai dengan menerapkan perilaku gizi dan kesehatan yang baik dari diri sendiri, keluarga, dan orang-orang terdekat. Selalu membiasakan diri kita untuk  berbagi informasi dan nasehat mengenai gizi dan kesehatan kepada sesama, sedikit apapun informasi itu.


Semoga Indonesia dapat secepatnya menanggulangi masalah-masalah gizi yang ada, meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia yang ada.

SELAMAT HARI GIZI NASIONAL KE-59, 25 JANUARI 2011.


Tulisan ini diringkas dari sumber :
  • BEBAN GANDA MASALAH GIZI DAN IMPLIKASI NYA TERHADAP KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KESEHATAN NASIONAL. (Prof. dr. Hamam Hadi, M.S.,Sc.D. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2005) 
  • Masalah Gizi di Indonesia: Kondisi Gizi Masyarakat Memprihatinkan (Hidayat Syarief, Gizi-Net, 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar